Tim Van Damme Inspired by Tim Vand Damme

About me

Wawan Hadinata
me?? who am i?? ah..hanya seorang mahasiswa yang sedang mendalami akuntansi, suka membaca, sedang belajar menulis, suka travelling (salah satu obsesi terbesar adalah keliling dunia), suka mempelajari sifat dan tingkah laku manusia di sekitar saya (in my own way, i call it "study human"), suka menghayal sebelum tidur (bagi saya menghayal sama dengan berdoa). kata teman-teman, saya berkepribadian melankolis, saya juga merasa kalau saya introvert, tapi bukan anti sosial :)
Lihat profil lengkapku

Blog

Sabtu, 14 Mei 2011

My Plan vs God's Plan..#Chapter - 3


Chapter 3  - God's Plan

Apa yang saya alami ini bisa disebut sebagai “dream comes true,” tapi, dalam hal ini mimpi buruk. Saya kembali teringat bagaimana sumpah yang terucap dari bibir manis saya bahwa setelah tamat SMA saya tidak ingin lagi bertemu dengan yang namanya hitung-hitungan dan rumus-rumus dan di sinilah saya terdampar sekarang, di fakultas matematika dan ilmu pengetahuan alam, lembah ilmu pasti. di sini tidak ada istilah “saya agak mengerti”, “saya mengerti sedikit”, “saya lumayan mengerti” atau penghalusan kata yang lain, di sini seperti kata Albert Einstein “if you can’t explain it to a six years old,  you don’t understand it yourself”, hanya ada dua, mengerti secara keseluruhan atau tidak mengerti sama sekali. Di tempat ini jangan berharap ketika ujian bisa mengarang jawaban, jangan harap bisa memulai jawaban dengan kalimat “menurut saya..” apalagi kalau berani membuat jawaban “menurut saya, theorema phytagoras itu salah”, bisa dilempar keluar jendela dari lantai tiga oleh professor matematika di sana, dan mungkin setelah jatuh ke tanahpun masih dilempar sendal dari atas.

Sebenarnya terdampar di FMIPA tidaklah terlalu buruk bagi saya, justru seharusnya ini menjadi sesuatu yang keren, menjadi seorang mathematical engineer atau mathematician sepertinya lebih dari cukup untuk memikat para wanita. yang buruk itu adalah status saya di sini sebagai mahasiswa non-reguler. kalau diibaratkan Fakultas ini sebagai negara India, maka kasta kami para anak-anak non-reg adalah kasta sudra, kasta rendahan, dibawah anak-anak SNMPTN dan PBUD, menyedihkan sekali. banyak diskriminasi yang kami dapatkan, mulai dari biaya kuliah yang jauh lebih mahal sampai dengan susahnya mendapat bea siswa. Ketika hari pertama masuk kampus, saya dapat merasakan perbedaan kasta yang mencolok ini, walaupun semua mahasiswa baru memakai seragam baju putih dan celana hitam, namun perbedaan kasta ini langsung bisa terasa hanya dengan memandang wajah mereka. Anak-anak PBUD bisa disebut kasta brahmana, mereka memasuki kampus ini dengan mulus tanpa rintangan tes apa pun, di hari pertama itu mereka terlihat bergerombol dan saling bercanda dengan temannya karena mereka sudah mengikuti matrikulasi selama 2 bulan, jadi mereka sudah punya banyak teman. Anak-anak SNMPTN bisa disebut kasta ksatria, mereka datang dengan Chest up and Confidence, mereka memasuki kampus ini setelah melibas habis ratusan ribu saingan (salah satunya saya,hiks hiks..) ketika ujian SNMPTN. dan kami-kami ini bisa disebut kasta sudra, memasuki kampus dengan tampang bego dan plang-plongo tidak karuan, berusaha mencari teman satu kasta. Penderitaan seperti ini semakin terasa setiap kali berkenalan dengan teman baru, saya sudah berusaha membawa topik pembicaraan ke berbagai arah mulai dari urusan dunia sampai siksa akhirat namun ujung-ujungnya pertanyaan yang menusuk itu akan tetap keluar, pertanyaan itu berbunyi “kamu lulus jalur apa? SNMPTN atau PBUD?”, lidah saya kelu untuk menjawabnya.

Ternyata kampus ini tidak terlalu kejam, mereka tidak memisahkan kelas berdasarkan jalur masuk, semuanya dicampur. Saya senang sekali karena dengan adanya kebijakan ini sepertinya perbedaan kasta tidak akan terlalu kontras. Tapi, asumsi saya salah, pernah sekali ketika mata kuliah Kalkulus I, saya duduk di baris paling depan, sebelum memulai kuliah tiba-tiba si dosen langsung menguji kami dengan sebuah pertanyaan tentang diferensial. Ketika otak saya yang canggih ini baru mulai bekerja dan bukannya menemukan jawaban tapi malah muncul pertanyaan baru yaitu “what was the question again?” dari sudut belakang ruangan seorang anak dengan penuh percaya diri menjawab dengan lancar dan santai. Anak ini bernama arbie, dia ini “freakishly genius” dan dia anak PBUD. Bercampur dengan anak-anak PBUD dan SNMPTN malah membuat saya merasa kasta saya mengalami downgrade, dari kasta Sudra menjadi kasta Paria, kasta orang-orang buangan, sedih sekali.

Seperti kata orang-orang bahwa “happiness doesn’t come from doing what we like to do, but from liking what we have to do”, saya berusaha berdamai dengan keadaan yang ada. saya berusaha untuk mencintai matematika, walaupun susahnya luar biasa, tapi seperti kata pepatah jawa bahwa “witing tresno jalaran soko kulino (cinta tumbuh karena terbiasa)” lama-lama saya mulai bisa melihat keindahan dan kecantikan dari matematika. saya sering menghabiskan waktu mendekam di sudut perpustakaan. Saya semakin mengagumi matematika, bagi saya ilmu pengetahuan tertua kedua setelah filsafat ini adalah “language of the universe, bahasa alam semesta. Pernah suatu ketika saya sedang di dalam perpustakaan jurusan, saya iseng-iseng melirik rak buku berbahasa inggris, saya kaget luar biasa, saya seperti menemukan harta karun. Saya menemukan banyak buku yang diterbitkan Harvard University di sana, tertulis di buku itu proyek pengadaan buku oleh PEMDA RIAU tahun 1980-an. Saya tidak perduli seberapa tua buku itu, matematika bukanlah undang-undang perpajakan yang berubah tiap tahun, matematika dari zaman Blaise Pascal masih ingusan sampai sekarang tetaplah sama. Saya tidak menyangka harta karun ini telah terkubur di sana puluhan tahun, dan ketika saya lihat di bagian belakang buku itu, saya lebih kaget lagi, sudah lebih dari 20 tahun buku itu di sana tapi baru pernah dipinjam sekali, students here, they don’t know what they missed.

Setahun saya habiskan bercanda dan bercengkerama dengan Aljabar, Geometry, Kalkulus dan beberapa spesies sejenisnya. saya memang mengagumi matematika, tapi bukan berarti secara otomatis matematika menjadi mudah buat saya, math is freakishly difficult. Mulai dari menyelesaikan matrix berordo besar yang beranak-anak melahirkan matrix berordo lebih kecil waktu kuliah aljabar, mempelajari ruang 3 dimensi yang ternyata tidak senikmat menonton film 3D, sampai dengan menyelesaikan persamaan integral yang jawabannya malah terasa lebih njelimet daripada soalnya. Kalau dideskripsikan dengan kata-kata kira-kira seperti inilah ruwetnya menyelesaikan integral itu, jika ada soal hitunglah integral dari secan empat x kurang satu kuadrat dx, maka jawabannya adalah satu per empat tangen empat x kurang satu per dua logaritma natural secan empat x tambah tangen empat x tambah x tambah C (sepertinya bahasa matematika tidak terlalu cocok dimasukkan ke sastra), itu hanyalah salah satu dari  bentuk integral yang wajar, dan berita dukanya adalah masih ada yang namanya integral tak wajar, yang wajar saja sudah bikin saya kena muntaber, bagaimana integral yang tak wajar?

To make a long story short, 2 semester telah berlalu, pada saat itu semua tes-tes PTN kembali dibuka. Saya berambisi untuk mengikuti semua tes yang ada, bukan untuk pindah universitas, tapi hanya sekedar pembuktian diri dan syukur-syukur kalau saya misalnya lulus SNMPTN kasta saya bisa terangkat sedikit. Namun sayang sungguh sayang, ternyata kemampuan finansial saya tidak sebesar ambisi saya, harga formulir pendaftaran cukup mahal. Duit saya tidak cukup untuk membeli banyak formulir, maka saya memutuskan untuk mengikuti USM STAN. Alasannya cukup klasik, harga formulirnya paling murah dibandingkan yang lain, Rp 100.000 saja. Terlebih lagi pada waktu itu adalah pertama kalinya USM STAN diadakan di Pekanbaru. Saya tidak memberi tahu siapapun bahwa saya akan mengikuti USM STAN, termasuk keluarga saya sendiri. Sudah terlalu sering saya mengecewakan orang tua saya, saya tidak ingin menambah lagi kekecewaan itu dengan mengirim berita kalau saya tidak lulus USM STAN, itulah kenapa saya bahkan tidak meminta uang untuk membeli formulir pendaftaran.

Setelah melalui proses pendaftaran e-reg yang membuat saya ber-istighfar dan mengumpat sama banyaknya karena mengakses situs USM STAN susahnya minta ampun, saya akhirnya menyelesaikan semua berkas pendaftaran dan mendapat kartu tanda peserta ujian. Saya juga membeli buku kumpulan soal-soal USM STAN. Sampai di rumah saya coba intip sedikit isi buku itu dan tersenyum sinis, tesnya terbagi tiga bagian Tes Potensi Akademik (TPA), bahasa indonesia, dan bahasa inggris. di halaman-halaman awal saya menemukan soal-soal matematika dasar. sebagai mahasiswa jurusan matematika yang sehari-harinya bercengkerama dengan kalkulus, geometri, dan aljabar, sambil nonton sinetron cinta fitri season 7 juga itu soal-soal bisa saya jawab. Dengan sombongnya buku itu saya lempar ke tumpukan buku-buku di sudut kamar, saya pun berlalu menuju kemana hati membawa saya, yang ternyata hati saya membawa saya ke warung nasi padang, lapar soalnya.

Sembari menunggu hari ujian tiba, saya menghabiskan waktu saya di perpustakaan wilayah provinsi Riau, katanya ini adalah perpustakaan terbesar se-asia tenggara, hebat sekali. hampir setiap hari saya ke sini. Tempat nongkrong favorit saya yang lain adalah toko buku Gramedia, dengan bermodalkan bayar parkir Rp 1000 saya bisa membaca buku-buku best seller yang baru terbit, saya tinggal ambil buku yang saya suka, lalu pergi ke sudut toko yang sepi lalu membaca dengan khidmat di sana. Selama lebih kurang 3 minggu, saya berhasil menamatkan beberapa buku dengan cara seperti ini. Ini bukan karena saya tidak mampu membeli buku-buku tersebut, tapi kalau bisa baca gratis kenapa harus beli? (ini ajaran sesat, aliran wawaniyah, Hati-Hati !!!!)

Satu hari menjelang USM STAN, saya teringat bahwa saya pernah membeli buku panduan USM STAN, saya coba mengerjakan soal-soal yang ada di buku itu. Saya sudah mengerjakan paket soal lima tahun terakhir dan akhirnya saya menyadari bahwa saya dalam masalah, dari tadi saya belum berhasil melewati nilai mati untuk bagian bahasa Indonesia. Saya lupa bahwa dari ketiga bagian tes itu ada nilai mati, yaitu harus benar minimal satu per tiga dari jumlah soal, dan dari tadi untuk bahasa Indonesia saya tidak berhasil melewati nilai mati tersebut. Saya lupa bahwa sudah lebih setahun saya tidak mempelajari bahasa Indonesia, saya mulai bongkar lagi buku-buku sma dan membaca-baca materi pelajaran bahasa Indonesia waktu SMA. Malamnya saya kembali mengerjakan soal prediksi untuk USM tahun 2009, setelah mengerjakan dan waktunya habis, dengan harap-harap cemas saya cocokkan jawaban saya dengan kunci jawaban di buku, akhirnya saya tetap tidak bisa melewati nilai mati untuk bahasa Indonesia, sayapun pasrah.

Besoknya, saya berangkat menuju ke lokasi ujian tanpa menaruh harapan apa-apa, saya merasa saya baru saja membuang uang Rp 100.000, saya mulai membayangkan berapa banyak kerupuk yang bisa saya beli dengan uang sebesar itu.  Saya duduk dalam ruangan dengan lesu sampai akhirnya si pengawas membacakan tata tertib dan prosedur ujian, suara pengawas ini terasa seperti angin surga ketika dia mengatakan “ujian terbagi atas dua bagian, TPA dan Bahasa Inggris”

“ujian terbagi atas dua bag-WHAT? Bukankah seharusnya tiga bagian?” saya kaget dan mengira bahwa pendengaran saya salah, Ketika soal ujian dibagikan keajaiban itu benar-benar terjadi, bagian Bahasa Indonesia hilang, sebuah keajaiban level tinggi yang hanya tuhan yang bisa melakukannya. Selanjutnya tidak usah saya ceritakan, mau mereka menampilkan Nurman Kamaru menari chaiya chaiya di dalam ruangan itupun tidak akan menjadi masalah bagi saya, masalah saya hanya bahasa Indonesia.

Satu bulan setelah ujian, liburan telah usai, saya kembali memasuki kampus. Satu hari menjelang pengumuman hasil USM saya tidak merasa nervous, karena bagi saya there is nothing to lose, kalau lulus ya Alhamdulillah, kalau tidak lulus saya tinggal melanjutkan kuliah. Pada malam sebelum pengumuman, saya pergi ke masjid untuk mendengarkan ceramah, tema ceramah yang disampaikan ustadz itu membuat saya tersenyum pahit. Isi ceramah itu seperti pertanda buruk bagi saya, seperti tuhan memberitahu lebih awal. Besoknya adalah pengumuman kelulusan USM STAN dan malam ini tema ceramahnya adalah “Hikmah Sabar dalam Menerima Kegagalan Hidup”, ustadz ini benar-benar pandai dalam memilih tema.

Besoknya saya pergi ke warnet dengan hati yang sudah kecewa duluan gara-gara mendengar ceramah agama tadi malam, tapi ternyata tuhan itu juga punya selera humor, dia hanya bercanda tadi malam, dari lima nama yang lulus USM STAN dari daerah Pekanbaru nama saya adalah salah satunya. Ketika keluar dari warnet saya mempelajari satu hal lagi bahwa terkadang anugerah dan musibah itu datang secara bersamaan, sepatu saya hilang. Tapi tak apa, hati saya sedang senang, saya ikhlas, saking senangnya sendal jepit butut beda warna yang saya ambil di warnet itupun terasa sangat keren. dari warnet saya menuju masjid kampus dan berbaring di masjid menunggu adzan zuhur.

Ketika berbaring dan merenung di teras masjid, pikiran saya terlempar ke setahun yang lalu, saya baru menyadari betapa sebuah scenario yang disiapkan Allah itu luar biasa indahnya. Saya sadar kenapa Allah tidak membiarkan saya jadi guru, karena jika ini terjadi entah sudah berapa banyak siswa yang tersesat karena saya, karena setiap ada teman yang minta penjelasan tentang materi kuliah pada saya, saya bukannya memberikan penjelasan tapi malah memberikan pengkaburan yang membuat kening teman-teman saya mengkerut. Saya juga senang Allah tidak membiarkan saya kuliah di kedokteran, karena melihat buku-buku kedokteran di kamar kakak saya yang saking tebalnya bisa dijadikan bantal dan setiap kali saya coba membaca buku-buku itu baru sampai daftar isi mata saya sudah berkunang-kunang. Saya juga menyadari kenapa tuhan malah meluluskan saya di jurusan matematika yang membuat saya mudah mengerjakan soal-soal TPA dan bagaimana Allah mengerti bahwa saya tidak bisa melewati ujian bahasa Indonesia, dengan begitu mudahnya ia menghilangkan ujian tersebut dari USM STAN.

Sejak saat itu saya paham dengan apa yang disebut “things happened for a reason”, selalu ada alasan dibalik apa yang saya alami, walaupun itu musibah terbesar sekalipun. Saya mulai bisa menerima semua hal-hal buruk yang menimpa saya bahkan bagi saya tidak ada lagi yang namanya hal buruk, Because I believe that all the bad stuffs will lead to something good. All the bad stuffs are part of the plan, God’s plan. And you just got to believe that..

‘’..God has bigger plan for you than you had for your self..”

0 komentar:

Posting Komentar

Pengikut


| My Stupid Story | Design by Insight © 2009